Banner 728x250
Opini

Netralitas Pemuka Agama: Pilar Utama Dalam Menghadapi Dinamika Pilkada

×

Netralitas Pemuka Agama: Pilar Utama Dalam Menghadapi Dinamika Pilkada

Sebarkan artikel ini

Penulis: Tandiesak Parinding (Ketua GMKI Cabang Palopo 2019-2021)

Eksposindo.com | Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu wujud nyata dari demokrasi di Indonesia yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemuka agama. 

Sebagai figur yang dihormati dan memiliki pengaruh besar, pemuka agama sering kali menjadi rujukan umat dalam mengambil sikap, termasuk dalam menentukan pilihan politik. Namun, peran mereka di ranah politik kerap memunculkan dilema, terutama ketika ada kecenderungan untuk mendukung atau mengkampanyekan kandidat tertentu.

Dukungan terang-terangan ini tidak hanya berpotensi merusak citra dan otoritas moral pemuka agama, tetapi juga dapat mengganggu kerukunan di antara umat, terutama di tengah masyarakat yang plural dan memiliki pandangan politik yang beragam. Oleh karena itu, penting bagi pemuka agama untuk tetap netral dan fokus pada peran mereka sebagai penjaga moralitas publik.

Netralitas pemuka agama dalam Pilkada bukan berarti mereka harus menjauh dari diskursus politik. Sebaliknya, netralitas adalah bentuk tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa proses politik berjalan dengan adil, jujur, dan bebas dari tekanan keagamaan yang berlebihan. 

Pemuka agama yang netral dapat berperan sebagai fasilitator yang memberikan edukasi kepada umat tentang pentingnya berpolitik secara etis dan berintegritas, mengedepankan nilai-nilai universal seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Dengan tidak memihak, pemuka agama juga dapat membantu umat menilai para calon pemimpin berdasarkan visi, misi, dan program kerja, alih-alih berdasarkan sentimen agama atau hubungan pribadi.

Baca Juga:  Dua Anggota DPRD Fraksi Demokrat Nyatakan Sikap Untuk Menangkan ABM-Rahmat di Pilkada Luwu

Sikap ini penting untuk menjaga Pilkada sebagai ajang kontestasi yang sehat, di mana masyarakat memilih pemimpin yang terbaik tanpa pengaruh yang membutakan.

Lebih jauh lagi, netralitas pemuka agama menjadi elemen penting dalam menjaga martabat agama itu sendiri. Ketika pemuka agama terseret dalam pusaran politik praktis, agama berisiko kehilangan kesakralannya dan dapat dipandang sebagai alat politik. Situasi ini tidak hanya mengancam integritas agama, tetapi juga dapat merusak hubungan antarumat beragama yang telah dibangun dengan susah payah. 

Oleh karena itu, pemuka agama perlu menempatkan diri sebagai penjaga moralitas dan perdamaian, bukan sebagai pendukung politik. Dengan bersikap netral, pemuka agama berkontribusi dalam menciptakan suasana demokrasi yang lebih kondusif, mendorong partisipasi politik yang cerdas dan etis, serta memperkuat ikatan sosial yang harmonis di tengah masyarakat yang majemuk.

Peran Pemuka Agama dalam Masyarakat

Pemuka agama, seperti pendeta, imam, ulama, dan pastor, sering kali menjadi panutan bagi umat dalam menentukan sikap dan tindakan. Pengaruh mereka tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat spiritual, tetapi juga merambah ke ranah sosial dan politik. 

Di tengah hiruk-pikuk politik, suara mereka kerap dianggap sebagai suara moral yang mampu menuntun umat untuk mengambil keputusan yang tepat. Namun, ketika pemuka agama terlalu terlibat dalam politik praktis, seperti mendukung atau berkampanye untuk kandidat tertentu, mereka berisiko kehilangan legitimasi moral dan menjadi alat politik. 

Baca Juga:  Ini Harapan Millenial Cantik di Pilkada Lutim

Hal ini tidak hanya merusak citra agama tetapi juga mengganggu kerukunan antarumat beragama dan stabilitas sosial. Seperti yang dikatakan oleh Martin Luther King Jr., “Gereja bukanlah tuan atau hamba dari negara, tetapi hati nurani negara. Gereja harus menjadi pemandu moral yang tidak berafiliasi dengan kekuasaan politik.”

Netralitas Gereja Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Moral

Netralitas pemuka agama dalam Pilkada bukan berarti apatis atau tidak peduli terhadap politik. Sebaliknya, netralitas adalah bentuk tanggung jawab moral untuk menjaga agar proses politik berjalan dengan adil dan tidak bias. Billy Graham, seorang penginjil ternama, menekankan, 

“Pemimpin agama harus tetap berdiri di atas politik partisan. Kita harus menyuarakan kebenaran, keadilan, dan perdamaian tanpa terjebak dalam permainan politik.” 

Dengan bersikap netral, pemuka agama dapat membantu umat melihat politik sebagai ruang untuk mencari pemimpin yang terbaik berdasarkan visi, misi, dan kemampuan, bukan berdasarkan sentimen keagamaan.

Pendeta Stephen Tong juga berpesan, “Pemimpin gereja harus mengarahkan umatnya kepada kebenaran, bukan kepada kepentingan politis. Gereja bukan panggung politik, melainkan tempat mencari kedamaian dan kebenaran ilahi.” 

Dengan sikap netral, pemuka agama memberikan ruang kepada umat untuk memilih secara rasional dan bebas tanpa tekanan.

Baca Juga:  Program Ibas-Rio Beri Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin, Ini Tanggapan Ketua LBH

Membangun Kesadaran Politik yang Beretika

Kesadaran politik yang beretika di kalangan umat adalah tujuan yang harus diperjuangkan bersama oleh pemuka agama, tokoh masyarakat, dan seluruh elemen bangsa. Etika politik mengajarkan umat untuk menghormati perbedaan pilihan, tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak benar, dan menilai kandidat berdasarkan kapabilitas serta integritas.

Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Kristen yang berani menentang rezim Nazi, menyatakan, “Gereja harus menjadi suara bagi yang tak bersuara, tetapi bukan untuk mengambil peran dalam politik praktis. Tugas gereja adalah menjaga nilai-nilai moral dan mengarahkan masyarakat pada kebenaran dan keadilan.” 

Pemuka agama dapat berperan aktif dalam membangun kesadaran ini dengan memberikan edukasi politik yang sehat dan menekankan pentingnya menjaga persatuan di tengah perbedaan politik.

Gereja harus mengajarkan nilai-nilai moral kepada umat tanpa memihak kepada satu partai atau kandidat. 

Gereja adalah tempat untuk menemukan hikmat Tuhan, bukan panggung untuk kampanye politik Netralitas pemuka agama dalam Pilkada juga penting untuk menjaga martabat agama dan keharmonisan sosial. Ketika pemuka agama terjebak dalam pusaran politik praktis, agama bisa kehilangan kesakralannya dan menjadi alat politik semata. Sebab peran sebagai pemuka agama bukanlah untuk memenangkan kandidat politik, melainkan untuk memenangkan hati manusia bagi Kristus. “Kita harus waspada agar gereja tidak diseret dalam konflik kekuasaan.” (*)