Banner 728x250
Makassar

Kritikus Film Makassar : Harusnya Film Nasional Menjadi Tuan Rumah Di Negeri Sendiri

×

Kritikus Film Makassar : Harusnya Film Nasional Menjadi Tuan Rumah Di Negeri Sendiri

Sebarkan artikel ini

Makassar, Eksposindo.com – Salah seorang Kritikus Film Makassar, Nicky Rewa Vatvani, meminta kepada Presiden Joko Widodo agar membatasi penerimaan film impor.

Nicky menguraikan bahwa, data yang kami peroleh, sepanjang 2018 telah beredar 385 flm di bioskop, terdiri dari 141 film Indonesia, dan 244 film impor.

“Harapan kita cuma kepada Bapak Presiden Joko Widodo. Karena kalau kita berharap ke yang lainnya, kayaknya percuma saja kita bersuara,” ucap Nicky saat ngobrol santai di Warkop Rumpi, Jl. Sungai Saddang, Kota Makassar, Minggu 3 Maret 2019.

Nicky, mengatakan bahwa film Indonesia itu seharusnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, bukan malah menjadi tamu, tegasnya.

Baca Juga:  Wakil Bupati Luwu Hadiri Pembentukan Bintara Polri Di SPN Batua

Agar film kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri harusnya Peraturan Presiden tentang Tata Edar Film disahkan menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), di mana sudah sembilan tahun lamanya PP tersebut tersendat, yang berisi tentang sanksi kepada bioskop yang tidak mematuhi aturan, Ucap Nicky.

Nicky beranggapan bahwa generasi bangsa selama ini telah disodorkan film impor tak bermoral dan tidak berpendidikan yang dengan cepatnya bisa merusak budaya serta bahasa bangsa kita ini.

Tak hanya itu, bagi tokoh perfilman yang telah mempelopori lahirnya sejumlah film keren di Makassar, seperti film Uang Panai serta film Maipa Deapati & Datu Museng, film nasional kesannya juga tak mendidik dan cenderung kontennya menawarkan sesuatu yang vulgar, semacam kasus pembunuhan, asusila dan semacamnya.

Baca Juga:  KPU Sulsel : Belum Ada WNA Terdeteksi Masuk Di DPT

Sehingga, Nicky juga mempertanyakan kredibilitas Lembaga Sensor Film (LSF) yang dengan mudahnya meloloskan tayangan mengerikan khususnya di film nasional.

“Ada beberapa film nasional yang memperlihatkan tata cara pembunuhan sadis dengan menggunakan alat potong rumput dengan sadis. Sementara kita yang bikin film Sumiati, pada adegan gantung diri, diminta agar disensor,” tuturnya.

Nicky menyatakan bersedia menyampaikan tentang karut-marut perfilman apabila dipanggil menghadap kepada Presiden, termasuk keresahan kalangan produksi film lokal yang susahnya meminta tayangan kepada pengelola bioskop.

Baca Juga:  Arham Basmin Tampil Sebagai Pembicara Dalam Diskusi Dan Adu Gagasan Dengan Caleg Millenial

Adapun film Dilan 1991, Nicky hanya mempersoalkan pada kategori batasan umur yang tercantum, yakni 13 tahun ke atas.

“Konten film itu semestinya 17 tahun ke atas, karena menceritakan tentang kenakalan dan percintaan anak SMA. Untuk penolakan di Makassar, itu wajar karena dikhawatirkan serupa dengan adegan di Dilan 1, dan tentu penerimaan di Makasaar berbeda dengan daerah lain,” pungkas Nicky. (*)